via Portal Sains, 13 January 2020: In the 1970s, a German team conducted a multidisciplinary study of life, culture and archaeology in the Papuan Highlands focusing on the Ok and Mek people. A pair of scholars involved in the research recently returned and shared their experiences and observations about how much has changed. Article is in Bahasa, but the source material is in German so it’s an interesting peek into research that is not conducted in English. Thanks to Hari Suroto for the link.
Demografi makin luas: pada 1974 ada 800 jiwa di Lembah Eipomek, sekarang kira-kira 4.000! Pemerintah banyak membantu dengan memberikan bantuan beras dan dana. Jembatan di atas sungai besar juga dibangun. Orang Eipo melayani semua aspek hidupan (lapangan terbang, komunikasi dengan pilot dan perusaan penerbangan terbang, gereja, bangun gedung kantor klasis besar, hydroelectric turbine, listrik…) dengan swadaya.
Di selatan dari pegunungan sentral, dekat kampung Larye, orang masih membuat kapak batu dari Andesit, masih dipakai untuk mas kawin dan bayaran ritual. Luar biasa! Satu-satunya tempat di dunia, di mana prasejarah masih hidup. Dengan dana dari pemerintah Jerman dan Kabupaten Pegunungan Bintang kami bangun Pusat Budaya Eipomek yang pertama di seluruh Papua di luar kota. Peresmian oleh Bapak Bupati Wellington Wenda, pada Juli 2014.
Sama dengan Dr. Marian Vanhaeren dari Universitas Bordeaux kami kerja sama dengan Arkenas Jakarta, Balai Akeologi Papua, Loka Budaya dan Fakultas Kedokteran Uncen. Tahun ini Ibu Professor Herawati Sudoyo dan Leo Taufik dari Lembaga Eijkman mengunjungi proyek kami di Eipomek untuk cek kesempatan kerja sama tahun depan.
Source: Cerita dari Penelitian Suku Mek dan Ok di Pegunungan Bintang, Papua – Portal Sains